Agama dan Masyarakat
Fungsi Agama
·
Fungsi Agama
dalam Masyarakat
Terdapat
beberapa sebab mengapa agama sangat penting terhadap kehidupan manusia,
diantaranya sebagai berikut:
Karena agama
termasuk pokok atau dasar moral.
Karena agama
termasuk petunjuk sebuah kebenaran.
Karena agama
termasuk dasar informasi mengenai masalah metafisika.
Karena agama
adalah suatu bimbingan ruh terhadap manusia baik suka maupun duka.
Semenjak
manusia lahir ke dunia dalam keadaan tak berdaya dan lemah serta tidak tahu apapun.
(Q.S. An Nahl: 78)
Alloh
mengeluarkan manusia dari rahim ibunya dalam kondisi tidak mengetahui suatu
apapun. Dia menciptakan untukmu penglihatan, pendengaran serta hati. Akan
tetapi tidak banyak diantara mereka yang bersyukur.
·
Dimensi Kontimen Agama
Perkembangan
iptek mempunyai konsekuensi penting bagi agama.Sekulerisai cenderung
mempersempit ruang gerak kepercayaan dan pengalaman keagamaan. Kebanyakan agama
yang menerima nilai- nilai institusional baru adalah agama – agama aliran semua
aspek kehidupan.
Dimensi komitmen agama menurut Roland Robertson:
Dimensi komitmen agama menurut Roland Robertson:
1. dimensi
keyakinan mengandung perkiraan/harapan bahwa orang yang religius akan menganut
pandangan teologis tertentu.
2. Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata.
3. Dimensi pengerahuan, dikaitkan dengan perkiraan.
4. Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, semua agama mempunyai perkiraan tertentu.
5. Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan.
2. Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata.
3. Dimensi pengerahuan, dikaitkan dengan perkiraan.
4. Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, semua agama mempunyai perkiraan tertentu.
5. Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan.
Pelembagaan Agama
Ada 3 tipe
kaitan agama dengan masyarakat, diantaranya :
1. Masyarakat
dan nilai-nilai sakral.
2. Masyarakat-masyarakat
pra industri yang sedang berkembang.
3. Masyarakat-masyarakat
industri sekuler.
Pengertian pelembagaan agama itu sendiri ialah apa dan mengapa agama
ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi struktur agama. Dimensi ini
mengidentifikasikan pengaruh-pengaruh kepercayaan di dalam kehidupan
sehari-hari.
Pelembagaan
Agama di Indonesia:
1. Islam: MUI
MUI atau Majelis
Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi
ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk
membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Majelis
Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan
dengan tanggal 26 juli 1975 di Jakarta, Indonesia.
2. Kristen :
Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI)
Katolik :
Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI)
3. Hindu: persada
Parisada Hindu
Dharma Indonesia ( Parisada ) ialah: Majelis tertinggi umat Hindu
Indonesia.
4. Budha: MBI
Majelis
Buddhayana Indonesia adalah majelis umat Buddha di Indonesia. Majelis ini
didirikan oleh Bhante Ashin Jinarakkhita pada hari Asadha 2499 BE tanggal 4
Juli 1955 di Semarang, tepatnya di Wihara Buddha Gaya, Watugong, Ungaran, Jawa
Tengah, dengan nama Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) dan diketuai
oleh Maha Upasaka Madhyantika S. Mangunkawatja.
5.
Konghucu: MATAKIN
Majelis Tinggi
Agama Konghucu Indonesia (disingkat MATAKIN) adalah sebuah organisasi
yang mengatur perkembangan agama Konghucu di Indonesia. Organisasi ini
didirikan pada tahun 1995.
Agama, konflik dan masyarakat
Secara sosiologis,
Masyarakat agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam
dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang
niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi.
Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya.
Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama
sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan
involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya
bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam.
Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah
masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism,
bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita
harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam
masyarakat Indonesia.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat.
Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah
atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat
di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama
tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian
mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan
ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui
bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap
warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat
perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang
menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum
kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara
langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan
terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan
keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM
dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini,
yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap
kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks
relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab
masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori
konflik.
Konflik Yang Ada Dalam Agama dan Masyarakat
Di beberapa wilayah, integritas masyarakat masih tertata
dengan kokoh. Kerjasama dan toleransi antar agama terjalin dengan baik,
didasarkan kepada rasa solidaritas, persaudaraan, kemanusiaan, kekeluargaan dan
kebangsaan. Namun hal ini hanya sebagian kecil saja karena pada kenyataannya
masih banyak terjadi konflik yang disebabkan berbagai faktor yang kemudian
menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia
disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum
minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah)
memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia.
Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan
menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral
masyarakat.
Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau
demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di
Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu
sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian
mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan
ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui
bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap
warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat
perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang
menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum
kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara
langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan
terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan
keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM
dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.
Sumber :
Komentar
Posting Komentar